Mencari Bahagia: Ternyata Harus Ada Derita

Ternyata mencintai bukan hal yang mudah. Dan dicintai tidak selalu berkah.

Semua akan kembali kepada ilusi. Sebab entah bagaimana membahagiakan diri. Mimpi indah pun terkadang menyesatkan. Nina bobokan kita dengan lantunan nada merdu yang gelap. Harapan penuh hampa, penuh siksa saat kita tahu bahwa ternyata hidup hanya untuk bahagia.

Kita takkan pernah tau batas kebahagiaan. Tapi ternyata kita selalu dan takkan pernah berhenti untuk memenuhi rasa itu.

Batas lelah menjadi hilang agar kiat selalu bahagia.

Kita menjadi bodoh, kita menjadi lupa.

Kita terjebak dalam rasa egois yang menyiksa. Tak henti menyiksa, menjadi derita. Menderita?

Kita pernah lelah mencoba. Bahkan kita juga pernah lelah mencoba berhenti.

Takkah kita sadar bahwa ternyata ini aneh? Kita ingin bahagia, tapi malah tersiksa.

Lalu apakah hidup itu? Apakah tujuan hidup itu? Bahagia atau derita?

Kita dibodohi oleh nafsu! Nafsulah yg tak berbatas! Atau… memang sepi? Ternyata kita kesepian? Kita itu sendiri… berusaha memaknai hidup, berusaha membahagiakan diri… sendiri?

Aku. Hanya aku. Selalu sendiri.

Berdiri meratapi dunia yang ternyata semu. Berusaha memuaskan diri yang sebenarnya aku tidak tahu sampai mana batasnya.

Hingga, akhirnya aku tidak tahu bagaimana menghargainya. Atau sekedar merasakan.

Semua terlalu semu, terlalu hampa.

Aku akan tetap kembali menjadi aku: aku yang ingin bahagia tapi juga menyiksa diri sendiri.

Aku lupa bahwa memang sebenarnya semua terbatas. Aku kerap memaksa diri. Akhirnya timbullah rasa takut, takut kalau sebenarnya aku tidak bisa. Menjadi si pengecut yang selalu kalah, bahkan saat pertama ingin menapak. Karena ketakutan tak tahu bagaimana menciptakan batas.

Category: 0 comments

0 comments:

Posting Komentar