Tamparan Kesadaran

Harris menatap bibir Stella. Pacarnya selama 1 tahun terakhir. Yang dengan sangat hebat bisa berbicara dengan kecepatan 2 kalimat perdetik tentang hal apapun, seperti memiliki otak dengan RAM 1 tera, dia hampir berbicara tanpa dipikir dan bisa tepat tanpa cacat. Terlebih saat Stella berbicara tentang dirinya. Dia seperti membaca tex tersusun rapih dihadapannya dengan sangat cepat dan hafal. Entah bagaimana penggunaan tanda baca dalam semua kalimat Stella, yang Harris tau intonasi Stella seperti penyanyi yang merdu namun dipercepat beat-nya.

“Tau kan kemaren aku diajak Mamah ke salon yang baru itu, ya ampun masa creambathnya kasar banget, uda kaya kuli tuh banci. Mana baunya asem. Mamah pake kasih tips lagi, aku larang katanya ga enak. Lagian Mamah sih aku ajak ke salon langganan ga mau. Akhirnya aku ga jadi ke Senayan City buat beli Boots di SIDOGGER. Padahal lagi sale, gara-gara kelamaan di salon tuh. Untung dia blow bagus, jadi rambut aku jadinya alus. Tapi nanti kamu temenin aku ke Senayan City ya Beibz. Aku udah ngiler banget nih! Sama baju merah yang di Guess tuh. Aku naksir berat deh, tapi pulangnya aku pengen pijet. Badan jadi sakit nih gara-gara banci kemaren. Tuh banci emang kuli kali ya? Bikin sebel aja. Tau ga Beibz? Aku sampe ga bisa tidur semalem karena leher aku sakit….” Stella mengoceh tanpa berhenti. Percaya atau tidak, mungkin dia berbicara sepanjang itu hanya sekitar 2 menit. Dan itu belum ada tanda-tanda dia akan menghentikan pembicaraannya.

Harris menatap kesuluruhan yang ada di Stella. Yang 1 tahun lalu dia dapatkan dengan sulit dan penuh perjuangan. Wajahnya yang memang cantik dengan badan yang sangat menggoda memang menjadi syarat utama banyak pria mengejarnya. Tapi bukan itu yang membuat Harris tertarik dengan cewe kenes ini. 1 setengah tahun yang lalu dia melihat Stella dengan sangat hebat memperkenalkan sebuah produk di kantornya. Cara Stella berbicara, tersenyum, dan kecerdasan Stella dalam menjawab semua pertanyaan dalam presentasi itu membuat kesan yang mendalam terhadap Harris.

Stella memang cantik. Dengan rambut ikal panjang, dan kulit putih yang tanpa terjamah pun kita tahu itu halus, tubuh yang menakjubkan – dan selalu dibungkus dengan menakjubkan juga: seperti hari ini Jaket kulit Cartier coklat dengan paduan Blouse hitam serta rok mini coklat Givenchy dan di akhiri dengan high heels terbaru Zara – so HOT. Butuh perjuangan hanya untuk mendapatkan Stella yang sebagai PR terhitung sangat sibuk dan dikejar oleh banyak pria. Stella punya penghasilan yang baik, dia wanita karier yang mampu membeli apapun sendiri. Hanya saja, Stella sangat Bossy! Ya, Bossy. Dia sangat mudah menyuruh, meminta, dan manja. Seperti hal ringan menurut dia kadang terlalu berat untuk Harris, apa mungkin Harris menangkap semua yang Stella bicarakan? Dan tuntutan Stella adalah semua kata-katanya harus didengar. Cara bersosialisasi Stella juga kadang menyiksa, karena harus selalu modis dan senyum berlebihan didepan semua orang. Stella bisa sangat tidak mempunyai perasaan karena dia membuat Harris tak lebih hanya pendengar dan penurut. Keras. Batu. Annoying girl. Dan sebulan ini, penderitaan Harris terasa sudah tak lagi bisa dia panggul.

Stella masih berbicara soal apapun hal itu, Harris sudah tidak bisa menangkap. Ujung lidah Harris sudah tak mampu lagi menahan sebuah kata. Seperti bom yang sumbunya sudah setengah terbakar, hanya menunggu detik sampai kata-kata itu terlontar: “Stell….” Harris pelan berbicara. Stella tak mendengar, sambil mengaduk kopinya dan membakar rokok mentholnya, Stella tetap berbicara. Harris juga membakar rokok putih, wajahnya memerah sedikit karena ada emosi yang tersimpan untuk segera dilempar. “Stella!” dia menaikan intonasi. Stella terkejut mendengarnya, lalu bersungut “Gausah pake bentak gitu dong Sayang, emang aku budek. Ga bisa pake cara sopan apa, kita kan di tempat umum, gap antes bentak cewe ah. Bikin aku lupa aja udah cerita sampe mana….” Stella kembali berceloteh dan itu membuat Harris semakin emosi. “Bisa diem ga sih?!” Harris teriak. Matanya yang sudah menggambarkan emosi ikut membuat Stella takut. Tapi bukan Stella kalau tidak berusaha menguasai kondisi. “Kamu kenapa Sayang?” Stella sambil tersenyum. “Kenapa? Stell, aku udah muak dengan kelakuan kamu, kamu sadar ga sih seburuk apa kelakuan kamu?!” Harris kembali melempar emosinya. Stella terpancing emosinya, “GA! Kalo aku ga sadar terus kenapa?? Kamu mau tampar aku biar sadar hah??” Stella melempar kopi yang diaduknya kearah Harris. Harris menyeka kopi dimukanya.
Dan….
PLAAAAAAAAK!!!! Harris menampar Stella, “YA. Dan gw berharap tamparan itu buat kamu sadar.”

Harris mengambil jaketnya dan berjalan menjauhi Stella yang masih tak percaya apa yang telah Harris lakukan. Si sabar dan baik hati. Si penurut. Dan tamparan ini tak hanya menampar pipi Stella. Semua orang menatap Stella. Dia duduk dan mendapati dirinya seperti petinju yang kalah dalam pertandingan. Dengan hasil KO. Dia memutar pandangannya dan mendapati semua orang seperti berbisik tentang dia. Seperti biasa Stella harus mampu membuat dirinya selalu menjadi si Amazing Stella. Dia memainkan rambutnya dan membuka jaketnya agar terlihat mempunyai view menggigit untuk semua pria ataupun perempuan disana. Usaha itu gagal, saat dia merasa dirinya tidak Amazing karena tamparan tadi. Bukan malu, atau merasa kalah. Tapi dia menatap handphone Harris yang tertinggal. Dengan wallpaper foto mereka berdua. Yang Stella ambil saat mereka berdua sedang di puncak. Dengan baju yang sangat tidak seksi, perjalanan kejutan untuk merayakan ulang tahun Stella. Berangkat jam 3 pagi untuk sempat melihat matahari terbit. Stella tersenyum. “You always sexy even without everything Mac can make for you” Harris mencium kening Stella. Harris tak butuh pandangan mengigit ini untuk tetap memperhatikan apa yang Stella katakan. Terlebih, dia sekarang harus segera pulang dengan taksi tanpa diantar pulang dengan motor Harris.

Stella duduk ditaksi yang seharusnya nyaman. Tapi hatinya tidak tenang. Dia benci motor Harris, benci setengah mati. Dengan jok yang tidak sesuai untuk penumpang, menyiksa pantatnya. Alat transportasi itu juga membuat Stella tidak bebas dalam memilih baju dan butuh trik tertentu untuk pemakai rok sejati seperti Stella untuk menaikinya. Tapi taksi nyaman itu malah membuat Stella merindukan motor Harris. taksi ini terlalu dingin, dan Stella terbiasa memeluk erat Harris dalam kondisi seperti ini. Membuat tubuhnya menjadi hangat dan nyaman, sampai Stella bisa lupa dengan sakit di bokongnya.

Rumahnya sepi sekali. Stella hanya tinggal dengan Suki, kucing anggoranya. Ibu dari Stella sering berada dirumah ayah tiri Stella. Suki memanja di kaki Stella. Suki pemberian dari Harris, salah satu upaya supaya Stella tidak kesepian. Stella benci kata-kata atau penekanan kata-kata kesepian terhadap dirinya. Dia memang korban dari orng tua bercerai. Dia bahkan jarang berkomunikasi dengan suami baru ibunya. Harris memberikan kucing itu tanpa menghakimi kesepian yang dimiliki Stella, Harris meminta tolong agar Suki dirawat oleh Stella. Handphone Harris yang tadi tertinggal bunyi. Ibunya Harris. 3 jam sekali seperti sudah terjadwal untuk menelpon Harris. cerewet, dan seperti ada sejuta pertanyaan setiap telpon itu diangkat. Tapi justru itulah yang membuat Stella merasa lucu, sebal, dan senang. Lucu karena ada yang bisa menandingi cerewetnya, sebal karena itu membuat dia tahu bahwa itu adalah sifat menyebalkan, senang karena Ibunya Harris lah yang menyadarkan Stella kemanisan sebuah keluarga.

TV menyiarkan sinetron. Tontonan yang Stella benci. Dia memutar DVD yang sudah lama dia beli namun tak pernah dia tonton. The Orphan. Thriller yang mampu membuat Stella berteriak dan mengambil bantal untuk menutup wajahnya. Sesaat dia melupakan Harris dan kejadian tadi sampai secara reflek dia meminta Harris (yang tidak ada disitu) untuk mengambilkan dia minum dan cemilan. Ya, Harris tidak ada disitu. Tidak bersamanya. Harris yang selalu berkata iya. Yang pasti memeluknya untuk rasa takut fiktif ini. Yang pasti akan membuat Stella tidak takut. Yang selalu berkata maaf di setiap pertengkaran. Yang dengan sabar menunggu Stella melakukan apa saja – belanja, berbicara, dandan, menonton, makan. Tertawa untuk semua hal lucu yang dilakukan Stella. Tersenyum untuknya.

He’s not here Stell.

Stella menangis. Tamparan itu bukan hanya untuk wajahnya. Tapi hatinya. Dirinya terlalu kejam untuk dicintai orang sebaik Harris. She love him.
Secepat kilat dia menyambar handphone nya untuk menelpon Harris. 5 kali bunyi “tut”, terasa seperti seabad, adiknya yang mengangkat: Harris belum pulang sejak siang. Stella menahan isak saat berbicara dan kembali menangis saat telpon sudah tertutup.
Dia belum siap berpisah dengan Harris, dan dia yakin dia tidak akan pernah siap. Semuanya yang ada pada diri Harris membuat Stella sadar, dia wanita beruntung. Sangat beruntung. Dia berjalan menuju kamarnya, menatap foto manis dalam figura berisi wajah mereka berdua sedang tersenyum. Membuat Stella semakin merasa bersalah. Dia mengambil handphone Harris dan mendapati semua SMS darinya hanyalah sebuah perintah: jemput, antar, kerumah, jangan lupa bawa ini, jangan telat, jangan memakai baju yang kemarin. Sedangkan Harris dengan manis selalu mengirim puisi dan semua perasaan cinta.

You are really stupid lucky girl, Stell. So stupid!

Bahkan kamar ini, kamar yang mereka pakai untuk menghabiskan waktu bersama. Setiap sudutnya adalah sentuhan tangan Harris yang menyediakan waktu untuk merapihkan dan memindahkan barang. Dada Stella sesak dengan isak. Dia tak bisa lagi membuka matanya. Perasaanya penuh dengan rasa kehilangan. Just don’t leave me please, Har.

Bunyi bel rumahnya. Jam 3 pagi. Stella menyeka airmatanya, feelingnya mengatakan itu pasti Harris. dia berlari sampai hampir terjatuh. Dan segera membuka pintu.
Bukan Harris. Pizza delivery. Stella kaget dan merasa menyesal. “Maaf, salah rumah. Saya ga pesen pizza”. Sang pengantar ikut bingung. “Memang bukan Non yang pesan, tapi orang diluar sana” kata pengantar pizza sambil menunjuk seorang laki-laki yang sedang berdir disamping motornya. Harris.

Stella berlari menghampiri Harris. Harris terlihat berwajah sedih dan menyesal, “Aku tau kamu pasti belum makan, jadi aku pikir ada baiknya aku pesen pizza. Aku minta maaf Stell, aku tadi udah kelewatan sampe nampar kamu, aku bener- bener minta maaf Stell” Harris bahkan tidak berani menatap Stella. “Jangan minta maaf, Sayang. Ini bukan salah kamu. Sama sekali bukan.” Stella memeluk Harris dan mencium bibir Harris. cukup lama untuk membuat tukang pizzanya di depan pintu rumah Stella menjadi malu sudah berada di posisi ini.

“I love you,” Stella mendesah dalam ciumannya. “Love you too,” Jawaban Harris sambil tetap membalas ciuman Stella.

“Tamparan kamu, buat aku sadar, aku selama ini terlalu jahat dan ternyata aku terlalu sayang kamu Har” Stella menatap Harris lembut. “Will you forgive me?” Stella menunjukan muka takut lucu yang malah membuat Harris tersenyum. “Kapan sih aku ga maafin kamu?” dan mereka kembali berpelukan.
Stella menatap Harris dengan tatapan nakal, “Will you slap me again?” Harris terdiam bingung. “Tampar aku lagi,” Stella tersenyum nakal, “Dengan cara tergila, dikamarku”
Stella berlari menuju rumah, membuat Harris tak sabar mengejar. (Setelah membayar tukang pizza itu tentunya).
Category: 2 comments

2 comments:

endhorphine mengatakan...

nice story.. keep update ya mbak su9ar..

_su9ar_ mengatakan...

hehehe .. makasih juga sdh berkunjung ya pak kendhor :)

Posting Komentar